Sholawatan bisa jadi sebagai gerakan sosial

Dari judul di atas pasti kalian bertanya-tanya, mengapa sholawatan bisa jadi gerakan sosial ? bicara tentang sholawatan adalah sebuah ibadah sekaligus wujud kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW yang di lakukan secara bersama-sama di suatu tempat, yang di pimpin oleh suatu kyai atau ulama atau bisa juga dengan para habib, yang mempopulerkan pertama kali sholawatan menurut saya adalah syech abdul qadir assegaf yang bertempat tinggal di solo, itu menurut sepengetahuan ku, karena sejak habib syech di undang ke banyak acara ke agamaan, sholawatan menjadi semakin booming di kalangan masyarakat.


Di Solo, Jawa Tengah. para pecinta sholawat , mengkaji tentang bagaimana potensi majelis-majelis shalawat yang kini tengah menjamur di masyarakat. mengapa mereka mengkaji tema tersebut, tentunya ada beberapa alasan mereka mengkaji tema di atas. mungkin karena alasan ini : Di wilayah Soloraya misalnya, kehadiran Habib Syech menjadi magnet bagi para jamaah untuk bergabung mengumandangkan shalawat. Dari waktu ke waktu, jumlah jamaah semakin meningkat. Dalam perkembangannya, lahir juga komunitas-komunitas shalawat baru di berbagai daerah. Umumnya mereka adalah masyarakat pinggiran dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. 


Tak hanya di soloraya, di jogja pun banyak bermunculan majelis sholawat, seperti majelis shalawat pahit. saya sendiri sebagai anggota mejelis ini merasa sangat senang mengikuti majelis ini. majelis pahit adalah acara rutinan yang di adakan setiap 2 minggu sekali yaitu pada malam sabtu, yang di pimpin oleh seorang kyai atau ustad atau  semacam nya sesudah maulid biasanya ada kajian tentang arti bacaan maulid yang di baca saat sholawatan.

Aktivis muda NU Solo, M Dalhar, menilai bahwa fenomena sholawatan merupakan sebuah fenomena menarik. Fenomena Syecher, sebutan pecinta Habib Syech, merupakan potensi besar yang dimiliki Kota Solo.“Modal yang besar ini merupakan kesempatan bagi pemuda untuk menjadikan jamaah tidak sekadar menjadikan shalawat sebagai kegiatan ‘pelarian’ dari kesibukan kota, tetapi menjadi sebuah forum produktif,” terang Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Surakarta itu, belum lama ini.

Senada dengan Dalhar, Ketua Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Sukoharjo, Fitria Ayu, menambahkan kegiatan shalawatan selain menjadi ruang pengkaderan juga dapat dibuat sebagai sebuah gerakan sosial. Saat ini majelis shalawat seperti Ahbabul Musthofa, Jamuro, dan sebagainya layak untuk dibentuk sebagai sebuah gerakan sosial. “Paling tidak majelis shalawatan yang sudah ada ini memiliki dua syarat untuk menjadi sebuah gerakan sosial. Yaitu figur dan massa” 

(sumber web nu)